Pemerintah menetapkan 1 Ramadhan 1430 Hijriah sebagai awal pelaksanaan puasa Ramadhan jatuh pada Sabtu, 22 Agustus. Dengan demikian, shalat tarawih sebagai rangkaian ibadah Ramadhan akan mulai dilaksanakan pada Jumat (21/8) malam. Penetapan tersebut diambil melalui Sidang Isbat (Penetapan) Awal Ramadhan 1430 Hijriah di kantor Departemen Agama, Jakarta, Kamis malam. Hadir dalam acara tersebut Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh, Majelis Ulama Indonesia, anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Departemen Agama, baik dari perwakilan organisasi massa Islam maupun lembaga penelitian astronomi, serta perwakilan negara-negara berpenduduk Muslim. Keputusan itu diambil berdasarkan hasil pengamatan (rukyat) bulan baru (hilal) yang dilakukan oleh peneliti Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB) di sembilan lokasi dan pengamatan oleh anggota BHR Depag di 29 lokasi di seluruh Indonesia. Peneliti Observatorium Bosscha ITB, Taufik Hidayat, mengatakan, dari sembilan lokasi pengamatan itu, tidak ada satu pun yang melihat hilal meskipun cuaca di beberapa tempat cerah dan tidak berawan. Saat matahari terbenam, bulan masih di bawah ufuk atau bulan terbenam lebih dahulu dibandingkan dengan matahari. Saat matahari terbenam Kamis kemarin, ketinggian hilal di Indonesia antara minus 3 derajat 10 menit hingga minus 0 derajat 50 menit. Berdasarkan data perhitungan itu, hilal tidak mungkin dapat diamati. Anggota BHR Depag dari Planetarium dan Observatorium Jakarta, Cecep Nurwendaya, mengatakan, dengan kondisi itu, umur bulan Syakban digenapkan 30 hari sehingga 1 Ramadhan di seluruh wilayah Indonesia bertepatan dengan 22 Agustus. Hasil perhitungan BHR Depag itu bersesuaian dengan perhitungan awal Ramadhan yang dilakukan oleh beberapa ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Al Irsyad, dan Persatuan Islam. Walaupun demikian, sejumlah kelompok umat Islam, yaitu Jamaah An Nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan, dan Tarekat Naqsabandiyah di Padang, Sumatera Barat, telah melaksanakan puasa sejak Kamis kemarin. Menyikapi hal itu, Maftuh Basyuni mengatakan, perbedaan itu tidak dapat dihindari. Namun, setiap pihak yang berbeda harus mengetahui dan memahami posisi masing-masing. Perbedaan yang ada tidak perlu dijadikan titik tolak munculnya perpecahan. ”Manfaatkan Ramadhan sebagai bulan rekonsiliasi,” katanya. Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaludin, mengatakan, kesamaan awal Ramadhan antara pemerintah dan sejumlah ormas Islam tahun ini terjadi bukan karena kesamaan persepsi tentang cara menentukan awal bulan Hijriah, tetapi karena posisi bulan dan matahari yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan penentuan awal bulan. Ada potensi beda hari raya Idul Adha pada 2010 dan beda hari raya Idul Fitri pada 2011. Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH A Ghazalie Masruri mendesak BHR Depag untuk melakukan pengamatan hilal setiap menjelang awal bulan Hijriah secara rutin setiap bulan. Berdasarkan data yang diperoleh, proses perhitungan awal bulan dalam kalender Islam dapat diperbaiki sehingga ada kesatuan di antara ormas-ormas Islam di Indonesia. Sementara Wakil Sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah Abdul Fatah Wibisono meminta BHR Depag mengundang kelompok-kelompok yang berbeda dalam penentuan awal Ramadhan untuk mengetahui cara penghitungan yang dilakukannya. Dengan dialog, diharapkan perbedaan dapat dijembatani.
0 komentar:
Posting Komentar