Polisi China, Kamis (24/6/2010) menyatakan telah menghancurkan sebuah "sel teroris" yang dituduh melancarkan serangan-serangan mematikan di Xinjiang, ketika wilayah itu bersiap-siap memperingati tahun pertama kerusuhan etnik yang merenggut banyak korban.
Pengumuman itu disampaikan pada jumpa pers di Beijing, menjelang peringatan 5 Juli kerusuhan di Urumqi, ibukota Xinjiang, oleh penduduk Uighur yang beragama Islam. "Sejak 2008 kelompok teror ini merencanakan dan melakukan banyak aksi teror di Xinjiang, termasuk serangan terhadap polisi dan penjaga perbatasan di Kashgar selama Olimpiade," kata juru bicara Biro Keamanan Umum Wu Heping kepada wartawan. China menyatakan, 17 orang tewas dalam serangan di Kashgar, sebuah kota kuno di Xinjiang, dimana pelaku menyerang polisi dengan menggunakan peledak dan parang pada Agustus 2008. Serangan itu terjadi hanya beberapa hari sebelum Olimpiade Beijing dimulai. Dua orang Uighur kemudian dieksekusi karena serangan tersebut. Wu mengatakan, kelompok itu juga bertanggung jawab atas pengeboman dan tembak-menembak dengan polisi di kota Kuqa pada bulan itu yang menewaskan 10 orang.
Lebih dari 10 orang ditangkap dalam operasi itu, termasuk anggota kelompok yang mengupayakan kemerdekaan bagi Xinjiang, seperti Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM), katanya. Dari Juli hingga Oktober tahun lalu, kelompok itu mengumpulkan bom, kapak dan bom molotov dengan rencana melancarkan serangkaian serangan di Xinjiang. Beberapa anggota mereka lari ke luar negeri ketika rencana itu digagalkan. Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Dunia di luar negeri, mengatakan, pengumuman China itu memiliki motif politis. "Mengumumkan hal ini sekarang, sebelum 5 Juli, menunjukkan bahwa China ingin mendorong persepsi bahwa semua orang Uighur dan seluruh muslim adalah teroris," kata Raxit, yang berada di Eropa, kepada AFP melalui telefon. Dalam kerusuhan pada 5 Juli 2009, sebagian besar dari mereka yang tewas adalah orang Han, kelompok etnik dominan di China, namun puluhan orang Uighur juga tewas, menurut data pemerintah China. Kerusuhan itu merenggut 197 jiwa dan mencederai lebih dari 1.600 orang. Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra, dan Istanbul. Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian". Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan. Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang. Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Afganistan, Pakistan, dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil agas alam terbesar China. Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri. Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas Muslim Uighur. Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han.
Pengumuman itu disampaikan pada jumpa pers di Beijing, menjelang peringatan 5 Juli kerusuhan di Urumqi, ibukota Xinjiang, oleh penduduk Uighur yang beragama Islam. "Sejak 2008 kelompok teror ini merencanakan dan melakukan banyak aksi teror di Xinjiang, termasuk serangan terhadap polisi dan penjaga perbatasan di Kashgar selama Olimpiade," kata juru bicara Biro Keamanan Umum Wu Heping kepada wartawan. China menyatakan, 17 orang tewas dalam serangan di Kashgar, sebuah kota kuno di Xinjiang, dimana pelaku menyerang polisi dengan menggunakan peledak dan parang pada Agustus 2008. Serangan itu terjadi hanya beberapa hari sebelum Olimpiade Beijing dimulai. Dua orang Uighur kemudian dieksekusi karena serangan tersebut. Wu mengatakan, kelompok itu juga bertanggung jawab atas pengeboman dan tembak-menembak dengan polisi di kota Kuqa pada bulan itu yang menewaskan 10 orang.
Lebih dari 10 orang ditangkap dalam operasi itu, termasuk anggota kelompok yang mengupayakan kemerdekaan bagi Xinjiang, seperti Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM), katanya. Dari Juli hingga Oktober tahun lalu, kelompok itu mengumpulkan bom, kapak dan bom molotov dengan rencana melancarkan serangkaian serangan di Xinjiang. Beberapa anggota mereka lari ke luar negeri ketika rencana itu digagalkan. Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Dunia di luar negeri, mengatakan, pengumuman China itu memiliki motif politis. "Mengumumkan hal ini sekarang, sebelum 5 Juli, menunjukkan bahwa China ingin mendorong persepsi bahwa semua orang Uighur dan seluruh muslim adalah teroris," kata Raxit, yang berada di Eropa, kepada AFP melalui telefon. Dalam kerusuhan pada 5 Juli 2009, sebagian besar dari mereka yang tewas adalah orang Han, kelompok etnik dominan di China, namun puluhan orang Uighur juga tewas, menurut data pemerintah China. Kerusuhan itu merenggut 197 jiwa dan mencederai lebih dari 1.600 orang. Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra, dan Istanbul. Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian". Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan. Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang. Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Afganistan, Pakistan, dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil agas alam terbesar China. Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri. Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas Muslim Uighur. Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han.
Sumber : kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar